TempoInteraktif |
Peningkatan penggunaan premium sudah membebankan anggaran subsidi. Bahkan, kata Agus, besar kemungkinan beban kuota subsidi BBM tahun ini yang hanya 38,6 juta kiloliter akan terlampaui.
Menurut Agus, penghapusan premium akan dilakukan secara bertahap. Pertama menghilangkan subsidi. Terakhir menghilangkan premium. Artinya, pemerintah tidak akan lagi menyediakan premium di pasar. “Apalagi produk oktan premium juga kurang tinggi,” ujar Agus.
Soal kebijakan pembatasan BBM, Agus belum bisa berkomentar. Bahkan katanya empat opsi yang ditawarkan tim independen akan dikaji ulang. Soal pembatasan BBM ini Agus berharap komisi VII dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral segera melakukan kajian.
Agus juga menekankan pemerintah tidak akan memberi subsidi pada pertamax. “Pertamax harus mencerminkan pasar,” katanya. Agus berharap kementerian terkait tegas dalam melaksanakan kebijakan pembatasan BBM.
Premium Akan Tinggal Sejarah
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan sasaran akhir kebijakan pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi adalah penghapusan Premium. "Secara bertahap dan pasti, Premium itu harus hapus," ujar Agus di sela pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Bidakara, Jakarta Selatan, kemarin.
Program penghapusan itu dimulai dengan mencabut subsidi BBM. Setelah itu, pemerintah tidak akan lagi menyediakan Premium di pasar. Meski demikian, Menteri memastikan tidak akan menyubsidi Pertamax. Menurut dia, harga Pertamax harus mencerminkan harga pasar.
Agus berharap Kementerian Energi tegas melaksanakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi karena peningkatan pemakaian Premium semakin membebani anggaran negara. Bahkan besar kemungkinan kuota BBM bersubsidi tahun ini yang sebesar 38,6 juta kiloliter akan terlampaui, sehingga beban subsidi bertambah.
Dia menyarankan agar pemerintah meniru Cina yang konsisten menjalankan kebijakan pengaturan BBM. "Pemerintah Cina betul-betul tegar, meski sempat mendapat rongrongan dari masyarakat," tuturnya.
Sampai kuartal pertama 2011, konsumsi BBM bersubsidi sudah mencapai 9,6 juta kiloliter, melampaui kuota kuartal pertama 9,1 juta kiloliter. Angka itu juga berarti tumbuh 6,6 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Tubagus Haryono menuturkan tingginya konsumsi BBM bersubsidi dipicu oleh panic buying masyarakat. Kenaikan jumlah kendaraan bermotor membuat konsumsi juga makin tinggi.
Pakar perminyakan menilai wacana penghapusan Premium justru menambah masalah baru. Jika direalisasi, kebijakan ini akan menutup akses masyarakat memperoleh BBM dengan harga terjangkau. "Tak ada alasan menghapus Premium. Saat ini kualitasnya sudah bagus karena tidak ada timbel hitamnya," kata Direktur Eksekutif Center for Petroleum and Energy Economics Studies Muhammad Kurtubi kepada Tempo.
Apalagi, kata doktor ekonomi pertambangan dari Colorado School of Mines ini, bilangan oktan (RON) Premium sebesar 88 lebih tinggi ketimbang BBM jenis reguler gasolin yang banyak dipakai di wilayah Amerika Serikat yang memiliki kadar oktan 86, bahkan 82.
Menurut dia, menghapus Premium juga sama dengan memaksa masyarakat menggunakan Pertamax. "Ini salah karena harga Pertamax sudah 100 persen harga pasar," katanya. Lebih buruk lagi, penghapusan Premium berpotensi membuat pemerintah melanggar sumpah jabatannya. Pada 2004, Mahkamah Konstitusi telah mencabut Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Sebelumnya, dalam pasal itu disebutkan bahwa harga BBM dan gas bumi diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Ketentuan tersebut dinilai Mahkamah Konstitusi melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Walhasil, jika Premium dicabut dan masyarakat harus menggunakan Pertamax, pemerintah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi.
Ia mengusulkan supaya pemerintah berfokus membangun infrastruktur untuk bahan bakar gas, dengan membangun receiving terminal di kota-kota besar. Juga membangun sistem distribusi gas melalui pipa untuk sektor angkutan. Pembangunan infrastruktur gas penting dilakukan mengingat harga gas jauh lebih murah, walaupun tanpa subsidi. Produk tersebut pun ramah lingkungan dan ketersediaannya terjamin dalam jangka panjang.
TempoInteraktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar