Kamis, 04 Februari 2010
Pentagon Gelar Simulasi Cyberwar & AS Kalah Telak, Pertimbangkan Pre-emptive Cyberattack
National Security Agency (NSA) yang secara rahasia memantau jaringan komputer seluruh dunia, para petingginya pun memiliki perdebatan tersendiri terhadap soal penyebaran Cyberattack di AS dan bagaimana agar AS dapat melakukan Cyberattack yang bersifat Pre-emptive- sebuah hal yang dapat diotorisasi oleh Presiden AS.
Pentagon pada Senin pagi awal bulan Januari 2010 lalu, menggelar sebuah simulasi Cyberwar yang menggambarkan bagaimana bila Amerika Serikat mengalami Cyberattack yang menyasar pelumpuhan jaringan pembangkit listrik, sistem komunikasi dan jaringan finansial AS. Simulasi strategis disaksikan oleh petinggi top Pentagon untuk mengukur kesiapan negeri Paman Sam dalam menghadapinya. Hasilnya musuh berhasil menaklukan AS!
Hasilnya sungguh mengecewakan. Musuh sepenuhnya mengendalikan AS, Cyberattack dilancarkan secara siluman (stealth), tak terindentifikasi (anonimity), dan tak terduga. Pentagon tak mampu menunjuk negara asal serangan, sehingga tak ada cara efektif untuk menangkal kerusakan lebih lanjut dengan melancarkan serangan cyber balasan.
Para komandan militer AS pun mencatat bahkan militer AS pun menghadapi hambatan hukum untuk melakukan respon, militer AS tak memiliki otoritas hukum untuk bertindak, terutama tak adanya kejelasan bila sebuah serangan bersifat vandalisme, upaya pencurian di tempat komersial yang dapat melumpuhkan AS, sebuah kejelasan sebagaimana halnya bila terjadi perang konvesional.
Sejumlah partsipan simulasi ada yang menyadari dan tidak menyadari bahwa mimpi terburuk mereka baru saja dipertontonkan dalam dunia nyata, bukan di Pentagon tetapi setidaknya dalam skala yang lebih ringan di Google Inc. Sebagaimana diketahui Google Inc dan 30 perusahaan lainnya baru saja mengalami cyberattack yang dikenal sebagai Operation Aurora, dimana serangan skala raksasa dan canggih berhasil menembus sistem komputer. Saat itu Google berhasil dengan cepat melacak sumber serangan yang bersumber dari 7 server di Taiwan, dengan meninggalkan jejak yang berasal dari China daratan.
Segera setelah itu jejak pun lenyap kedalam kemarahan dan penyangkalan Pemerintah China, dan setelah berlanjut ke tingkat lebih tinggi: saling tuduh antara Washington dan Beijing. Peristiwa ini menunjukan bagaimana cyberwar dapat dengan cepat dapat bereskalasi pada meneganganya hubungan antarnegara, sehingga harus sesegera mungkin menemukan kemampuan "deterrent" atau menggentarkan dan tangkal lawan atau sesuatu yang setara dengan strategi era perang dingin menghadapi ancaman serangan nuklir.
Sejauh ini AS telah mengeluarkan jutaan dolar untuk keperluan studi dan riset namun gagal, Secretary State Hillary Rodham Clinton merupakan sosok yang telah melakukan upya paling komprehensif untuk memperingatkan AS tentang potensi daya rusak Cyberattack yang jelas tak boleh diabaikan, sebagaiman halnya AS yang membangun kekuatan deterrence nuklir.
"Negara, Teroris dan mereka yang bertindak sebagai Proxy harus tahu bahwa Pemerintah AS akan melindungi seluruh jaringan TIK," tegasnya dalam sebuah pidato belum lama ini, merespon dengan geram terhadap pernyataan Beijing."Mereka yang berupaya merusak kebebasan arus informasi di dalam masyrakat kamu atau pengancam cyber lainnya yang membidik perekonomian kami, pemerintahan kami dan masyarakat kami." Tetapi Hillary tak menyatakan bagaimana AS akan meresponnya, terutama kepada negara-negara yang mengijinkan negerinya dijadikan basis serangan cyber dapat sangat kehilangan reputasi, dan dapat dikucilkan dari perekonomian global.
Kini ada sebuah fakta, sebuah debat yang sangat sengit baik di dalam dan di luar Pemerintah AS soal apa penyebab paling kredibel serangan cyber menyasar ke AS. Ada yang menyatakan serangan bermotif diplomatik, atau wujud protes formal kepada pemerintah misalkan sebuah departemen menjanjikan sesuatu kepada publik namun, belum dipenuhi, pada kasus Google motif balas dendam ekonomi dan kriminalisasi dapat saja mendasarinya.
National Security Agency (NSA) yang secara rahasia memantau jaringan komputer seluruh dunia, para petingginya pun memiliki perdebatan tersendiri terhadap soal penyebaran Cyberattack di AS dan bagaimana agar AS dapat melakukan Cyberattack yang bersifat Pre-emptive- sebuah hal yang dapat diotorisasi oleh Presiden AS.
Pada kasus paling ekstrim jika terbukti ada sebuah indikasi yang terbukti akan melumpuhkan seluruh jaringan listrik AS maka respon serangan militer sebagai langkah pre-emptive menjadi layak dieksekusi."Kita kini ada di fase seperti awal tahun 1950-an saat Soviet menemukan bom", jelas Joseph Nye, seorang Profesor di Kennedy School di Harvard."Memang tak akan menyerupai upaya untuk memiliki kemampuan deterrence nuklir, tetapi anda telah mendengar bahwa Hillary mulai menjelaskan bahwa AS dapat menciptakan biaya yang sangat mahal bagi para penyerang AS.
(Sumber :NY Times | Foto: defensetech.org)
---------------------------------------------------------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar