news.okezone.com |
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi belum menerima laporan tentang pemenang tender proyek KTP elektronik (e-KTP). "Dari tender belum dapat laporan," ujar Gamawan di sela acara "Forum Anti Korupsi" di Hotel Kempinski Jakarta, Selasa 14 Juni 2011.
Menurut Gamawan, ihwal proyek tersebut dirinya sebenarnya tidak ikut campur. Namun, karena nilainya mencapai lebih dari Rp100 miliar, kata dia, menteri juga harus ikut menandatangani kontrak tersebut.
Namun, kata dia, sebelum kontrak proyek itu diteken, dia akan melakukan pengecekan atas hasil tender. "Sebelum tanda-tangan nanti minta clearance dari BPKP apakah tender itu sudah memenuhi syarat," katanya.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga telah meminta bantuan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengawasi proses tender. Proses tender dan lelang pengadaan barang untuk proyek e-KTP sudah digelar mulai Februari lalu.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil, Irman, mengatakan beberapa peralatan yang ditenderkan adalah perangkat keras, seperti alat perekam sidik jari, perangkat lunak, jaringan untuk sinkronisasi, dan pengiriman data dari kecamatan ke database kementerian di Jakarta, blanko atau lembar e-KTP, dan cip di dalam e-KTP untuk menyimpan rekaman sidik jari. Nilai tender tak kurang dari Rp 5,9 triliun
Pemenang Tender e-KTP Diduga Kolusi
Government Watch (Gowa) menilai penetapan konsorsium pemenang tender KTP elektronik atau e-KTP diduga penuh kolusi. Direktur Eksekutif Gowa, Andi Syahputra, mengatakan kedua konsorsium perusahaan yang lolos seleksi teknis dan mengajukan penawaran harga menawarkan solusi produk yang sama.
AFIS atau Automated Fingerprint Identification System adalah perangkat perekam sidik jari. Menurut Andi, ini bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Panitia lelang pengadaan e-KTP mengumumkan dua konsorsium perusahaan lolos seleksi teknis. Mereka adalah konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) dan Konsorsium Astra Graphia. Kedua konsorsium diminta memasukkan penawaran harga. Menurut Andi, besar kemungkinan kedua konsorsium menawarkan harga mendekati pagu nilai lelang, yaitu Rp 5,9 triliun.
Panitia juga dinilai teledor karena tak mengevaluasi produk-produk AFIS dari tiga merek besar yang cukup ternama di dunia. Perusahaan yang menawarkan merek terbaik ini justru digugurkan dengan alasan ketidaksesuaian teknis dari alat-alat pendukung lainnya.
Ini berbeda dengan praktek di India di mana panitia memilih tiga konsorsium yang menawarkan tiga solusi produk yang berbeda. Ketiganya menjalani uji coba dan evaluasi selama dua tahun, sebelum sepenuhnya menjalankan proyek selama 10 tahun. Gowa meminta Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dan instansi yang berwenang menyelidiki mengenai kemungkinan adanya kecurangan dan monopoli dalam tender ini.
TempoInteraktif
Government Watch (Gowa) menilai penetapan konsorsium pemenang tender KTP elektronik atau e-KTP diduga penuh kolusi. Direktur Eksekutif Gowa, Andi Syahputra, mengatakan kedua konsorsium perusahaan yang lolos seleksi teknis dan mengajukan penawaran harga menawarkan solusi produk yang sama.
"Kedua konsorsium menawarkan produk AFIS merek L1 Identity Solutions atau L1," katanya melalui surat elektronik, Kamis, 9 Juni 2011.
AFIS atau Automated Fingerprint Identification System adalah perangkat perekam sidik jari. Menurut Andi, ini bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Panitia lelang pengadaan e-KTP mengumumkan dua konsorsium perusahaan lolos seleksi teknis. Mereka adalah konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) dan Konsorsium Astra Graphia. Kedua konsorsium diminta memasukkan penawaran harga. Menurut Andi, besar kemungkinan kedua konsorsium menawarkan harga mendekati pagu nilai lelang, yaitu Rp 5,9 triliun.
Menurut Andi, kementerian sudah mengumumkan pemenang tender eKTP, yaitu konsorsium PNRI. Ia menilai ada kemungkinan panitia memihak konsorsium tertentu dan sengaja memonopoli karena dua konsorsium yang terpilih menawarkan solusi sama. Apalagi merek L1 bukan perangkat dengan kualitas tiga besar terbaik di bidang ini.
Panitia juga dinilai teledor karena tak mengevaluasi produk-produk AFIS dari tiga merek besar yang cukup ternama di dunia. Perusahaan yang menawarkan merek terbaik ini justru digugurkan dengan alasan ketidaksesuaian teknis dari alat-alat pendukung lainnya.
Ini berbeda dengan praktek di India di mana panitia memilih tiga konsorsium yang menawarkan tiga solusi produk yang berbeda. Ketiganya menjalani uji coba dan evaluasi selama dua tahun, sebelum sepenuhnya menjalankan proyek selama 10 tahun. Gowa meminta Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dan instansi yang berwenang menyelidiki mengenai kemungkinan adanya kecurangan dan monopoli dalam tender ini.
TempoInteraktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar