Chairuman Harahap |
Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap mengatakan, pihaknya masih mengumpulkan informasi atas dugaan yang berkembang itu. Komisi II, menurutnya, perlu mendalami proses teknis pelelangan secara detail sebelum akhirnya memutuskan untuk membawa dugaan tersebut ke rapat dengar pendapat dengan Mendagri.
“Kita terima informasi itu untuk kita dalami sejauh mana kemungkinan dan kebenarannya sebelum kita mem-follow up secara resmi,” kata Chairuman menjawab matanews.com di Jakarta, Sabtu 11 Juni 2011.
Dugaan adanya praktik kolusi di balik lelang proyek pengadaan e-KTP menyembur karena penetapan dua pemenang lelang tahap akhir, yaitu PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia) dan Astra Graphia, oleh panitia pelelangan rada ganjil.
Direktur Eksekutif Government Watch (GOWA) Andi W Syahputra mengungkapkan, kedua perusahaan tersebut sama-sama menawarkan produk AFIS bermerk L1 Identity Solutions atau L1.
Padahal, menurut Andi, seharusnya panitia memilih dua perusahaan yang menawarkan solusi produk yang berbeda. “Seperti Pemerintah India yang memilih tiga konsorsium dengan tiga sistem AFIS yang berbeda-beda pula,” kata Andi.
Chairuman menambahkan, Komisi II menanggapi serius informasi dugaan keganjilan tender tersebut. Karena jauh sebelum pelelangan dimulai, sejumlah anggota Komisi II DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Mendagri telah mengingatkan Gamawan Fauzi untuk serius dalam penggarapan proyek KTP baru ini.
Peringatan itu dikeluarkan Komisi II, kata Chairuman Harahap, karena DPR menilai proyek e-KTP merupakan proyek besar. “Dan Kemendagri sendiri telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dengan meminta KPK, BPK, dan masyarakat untuk mengawasi proses pelaksanaannya dari awal,” kata Chairuman.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding menyatakan kecurigaan semacam ini perlu disesuaikan dengan Keppres 80 Tahun 2003.
“Bila memang kedapatan ada yang menyimpang dari pedoman pelaksanaan pengadaan barang atau jasa, aparat penegak hukum perlu untuk segera memeriksa. Karena itu perlu ditelusuri lebih mendalam lagi,” kata Sudding kepada matanews.com di Jakarta, Sabtu 11 Juni 2011.
Aroma Kolusi di Balik Lelang e-KTP
AROMA kolusi menyengat di balik lelang proyek pengadaan e-KTP (electronic KTP) oleh Direktorat Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri. Aroma itu menyembur karena panitia pelelangan menetapkan dua pemenang lelang tahap akhir yang sama-sama menawarkan produk AFIS bermerk L1 Identity Solutions atau L1.
Direktur Eksekutif Government Watch (GOWA) Andi W Syahputra mengungkapkan, dua perusahaan yang memenangkan lelang tahap akhir e-KTP adalah konsorsium PNRI (Percetakan Negara RI) dan Astra Graphia.
Kedua perusahaan tersebut menawarkan solusi yang sama dalam proyek pengadaan e-KTP itu, yakni produk AFIS bermerk L1 Identity Solutions atau L1.
Menurut Andi, penetapan dua perusahaan yang sama-sama menawarkan produk dan solusi sama dalam satu proyek bertentangan dengan PP No 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah pasal 6 poin G. “Ini pelanggaran yang tidak boleh dibiarkan tanpa proses hukum,” tegas Andi kepada matanews.com di Jakarta, Jumat 10 Juni 2011.
Andi menyebutkan, seharusnya panitia pengadaan memilih dua konsorsium (perusahaan) yang menawarkan solusi berbeda. Andi mencontohkan pemerintah India yang memilih tiga konsorsium perusahaan yang menawarkan tiga sistem AFIS berbeda.
Pemerintah India, cerita Andi, juga menerapkan masa evaluasi selama dua tahun. Setelah dua tahun baru ditetapkan satu konsorsium yang akan dipakai untuk melaksanakan proyek ID card dengan multibiometrik tersebut dalam jangka 10 tahun.
Andi menganggap panitia teledor karena tidak mengevaluasi produk-produk AFIS tiga besar dunia. “Proses lelang yang tanpa transparansi bisa dinilai sarat kolusi,” sebut Andi.
Apalagi, gambar Andi, perusahaan L1 belum diakuisisi (merger) dengan perusahaan AFIS terkemuka dunia yaitu Safran Morpho (dahulu Sagem). L1 juga belum berpengalaman di bidang ID card system dengan skala sebesar di Indonesia.
“Anggota DPR dan anggota tim Kementerian Dalam Negeri hanya menjadikan tolok ukur harga e-KTP Indonesia lebih murah dibanding India tanpa membandingkan dengan rinci mengenai perbedaan ruang lingkup proyeknya,” terang Andi.
Selaras itu, GOWA mendesak Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dan instansi berwenang lainnya untuk menyelidiki kemungkinan adanya kecurangan dan monopoli dalam tender e-KTP ini.
matanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar