Dalam kurun waktu 10 tahun dan pengeluaran yang mencapai 1 miliar dolar untuk proyek-proyek e-Government, sebagian besar, uang waktu Brunei dan sumber daya telah sia-sia. Namun tak semuanya seburuk itu, karena negara Brunei menyadari adanya kebutuhan untuk mengakselerasi pertumbuhan e-Government atau menjadi negara yang tertinggal dalam abad ICT.
Pada tahun 2000, Yang Mulia Sultan dan Yang Di-Pertuan of Brunei Darussalam telah mengekspresikan harapannya untuk melihat kesultanan menjalankan inisiatif e-Government dan e-business, tidak sekedar membawa Brunei kedalam arus utama teknologi informasi global, tetap yang lebih penting lagi untuk bertindak sebagai pelaju utama dalam pembangunan ekonomi negara.
Melompat ke 17th Civil Service Day Celebrations yang diselenggarakan pada bulan lalu, Yang Mulia mempertanyakan lambannya implementasi proyek-proyek e-Government. Ini bukan kali pertama hal ini mengemuka, beratnya mewujudkan berbagai tujuan e-Government. Pada tahun 2008, CIO Pemerintah Pg Dato Paduka Hj Ismail Pg Hj Mohamed berujar bahwa target-target Brunei dalam lima tahun pertama implementasi e-Government terlalu ambisius.
Berapa lama waktu yang diperlukan pemerintah untuk menyadari bahwa implementasi e-Government yang dijalankan melaju kearah yang keliru? Lebih penting lagi, apa yang telah kita pelajari untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang sama tidak akan terulang kembali?
Kemajuan implementasi e-Gosvernment Brunei yang tak memuaskan selama lebih dari 10 tahun adalah sebuah pelajaran yang harus dipelajari oleh pemerintah, yang kini berfokus pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat sebelum melaksanakan otomatisasi "bisnis" pemerintah, ujar CIO Pemerintah Hj Azhar Hj Ahmad, sebagaimana dilansir dari bt.com (5/11).
Saat penyelenggaraan Forum Teknologi bulan lalu, HJ Azhar lebih lanjut menyatakan, banyak pekerjaan yang harus dituntaskan sejak inisiatif e-Government dimulai dengan fokus pada membangun infrastruktur IT dan sistem-sistem back office.
Apakah ini berarti pemerintah harus menghabiskan waktu 10 tahun agar mengerti bahwa prioritas-prioritas e-Government adalah connecting people, membuat layanan-layanan pemerintah lebih mudah untuk diakses oleh masyarakat? Jika ini permasalahannya, apakah kita telah menempatkan orang yang tepat untuk melakukan migrasi ke pelaksanaan layanan dan administrasi e-Government?
Rangkaian evaluasi harus dilakukan untuk melihat apakah perencanaan dan riset yang tepat telah dilakukan untuk melakukan semua inisiatif e-Government. Apa saja yang menjadi penghambat-penghambat eksternal dan internal yang menyebabkan kegagalan pemerintah untuk meraih tujuan-tujuan e-Government.
Brunei's E-Government Strategic Plan 2009-2014 telah mengidentifikasi 5 prioritas untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu; membangun kapabilitas-kapabilitas dan kapasitas, memperbaiki tata kelola pemerintah, memperkuat keamanan dan kepercayaan, mengintegrasikan pemerintah dan pelayanan yang terintegrasi, e-Service yang menyenangkan dan dapat diakses. Pada area mana kita masih berjuang untuk mewujudkannya?
Brunei sejauh ini telah membuat langkah awal yang benar--yaitu memiliki kemauan politik untuk mengimplementasikan e-Government dengan mengalokasikan sumber-sumber daya. Akan tetapi, pemerintah harus meyakinkan seluruh pegawai negerinya agar rencana yang baik dapat dilaksanakan dengan baik pula.
Bahkan, sekalipun tersedia infrastruktur ICT, apakah pegawai negeri siap untuk menerima perubahan-perubahan teknologi dan operasional dan menggunakan infrastruktur sebagai sebuah platform untuk berhubungan dengan masyarakat agar pelayanan menjadi lebih baik?Satu isu yang mengkhawatirkan adalah tidak semua pegawai negeri memiliki akun surat elektronik sendiri yang digunakan untuk kepentingan pekerjaan. Bayangkan menerima surat elektronik (surel) dari akun-akun dengan nama-nama yang terlihat tak profesional, dan juga menimbulkan masalah keamanan. Bersediakah anda berkomunikasi dengan seseorang, sementara anda tahu keamanan anda dalam resiko?
Lemahnya keamanan di dunia maya menjadi alasan utama yang menyiutkan warga dan penduduk Nrunei untuk menggunakan layanan-layanan e-Government, sebagaimana yang terungkap dalam temuan E-Government Citizen Survey. Hampir 7 ( 67%) dalam setiap 10 dari sekitar 1.500 responden menyatakan bahwa berbagai resiko terkait akses ke detail pribadi yang sensitif oleh orang-orang yang tak berwenang dan kejahatan-kejahatan cyber mempengaruhi keinginan untuk menggunakan layanan e-Government di Brunei.
Perlu dicatat bahwa dengan sebagian besar warga dan Penduduk Brunei menggunakan ICT dalam berkerja dan untuk berbagai kepentingan lainnya, kita belum memiliki hukum-hukum cyber untuk melindungi pengguna internet. Berapa lama waktu yang diperlukan oleh legislatif untuk menyusun kerangka kerja? Berapa banyak orang yang akan terkena dampak hingga hukum cyber diberlakukan?
Pemerintah memanggul tanggung jawab untuk mengembangkan budaya perlindungan dan keamanan privasi, ketika masyarakat cenderung enggan menggunakan layanan-layanan masyarakat yang dihadirkan pemerintah, menyadari bahwa keamanan masyarakat tak terlindungi dengan baik ketika menggunakan layanan e-Government.
Brunei tak memiliki waktu 10 tahun lainnya atau $1 miliar lainnya untuk digunakan dalam implementasi e-Government, kerena tuntutan-tuntutan teknologi berubah dengan cepat. Apa yang kini dianggap sebagai sebuah e-Service atau keahlian ICT yang penting, mungkin tak akan relevan lagi dalam waktu 5 tahun lagi.
Sikap adanya kebutuhan mendesak sangat dibutuhkan karena itu akan mendorong pemerintah, perusahaan-perusahaan dan orang untuk berkerja sama mengatasi berbagai tantangan untuk mencapai berbagai manfaat e-Government, atu itu hanya akan menjadi sekedar janji yang tak pernah terlaksana.
(Shareen Han-- Brunei Times | Alih Bahasa : Martin Simamora)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar