Editor : Martin Simamora, S.IP |Martin Simamora Press

Jumat, 08 April 2011

Pernyataan Citibank Bertentangan Dengan Hasil Visum

poskota.co.id
Direksi Citibank dalam rapat dengan DPR menyatakan tidak ada bukti kekerasan fisik pada tubuh Irzen Okta, nasabah kartu kredit Citibank yang tewas di kantor Citibank. Pernyataan itu bertentangan dengan hasil visum polisi.




DPR Kembali Panggil Citibank

DPR kembali memanggil Citibank dan Bank Indonesia siang ini terkait kasus kematian Irzen Octa, nasabah Citibank yang juga Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa di tangan debt collector dan pembobolan dana nasabah bank asing tersebut oleh MD alias Inong Malinda, yang kala itu masih menjadi senior relationship Manager Citibank. "Hari ini jam 2 kita akan panggil Citibank," ujar Wakil Ketua Komisi XI, Achsanul Qasasi di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (8/4/2011).

Terkait kasus tersebut, DPR meminta agar BI menjatuhkan sanksi maksimal kepada Citibank. "Ini harus ditindak tegas," kata Achsanul. BI, lanjutnya, juga harus segera mengeluarkan surat edaran yang mengatur penggunaan jasa debt collector. "Perbankan harus menghentikan sementara jasa debt collector.Selanjutnya ada peraturan debt collector, tingkat pendidikannya seperti apa," ujar Achsanul.

Menurutnya, penggunaan jasa debt collector oleh bank-bank pada umumnya sebaiknya mulai ditertibkan. "Cukup dengan surat edaran, tidak perlu undang-undang," katanya.

Citibank Ditutup jika Terbukti Bersalah

Sanksi sementara bagi Citibank datang bertubi-tubi. Setelah tak boleh menambah nasabah baru layanan Citigold, Citibank kini dilarang menawarkan kartu kredit. Bank asal Amerika Serikat ini juga masih menghadapi ancaman vonis lain yang jauh lebih berat: jika penyelidikan membuktikan ada keterkaitan Citibank dengan kematian Irzan Octa, bisnis bank ini di Indonesia bisa berakhir.


Kemungkinan pencabutan izin Citibank merupakan salah satu rekomendasi Komisi XI DPR. DPR meminta Bank Indonesia (BI) menjatuhkan sanksi seberat-beratnya jika debt collector rekanan Citibank terbukti bersalah. "Sanksinya bisa pembekuan izin kartu kredit, izin operasional di Jakarta atau di Indonesia," kata Emir Moeis, Ketua Komisi XI, Kamis (7/4/2011).



Dalam surat rekomendasi itu, DPR tidak menyebutkan bentuk sanksi secara spesifik karena hal tersebut kewenangan BI. Maka itu, DPR menggunakan kalimat "sanksi seberat-beratnya". "Jika terbukti bersalah dan BI tak memberikan sanksi tegas, kami mengevaluasi Dewan Gubernur BI," ancam Emir, politisi PDI-P ini. DPR akan menyampaikan rekomendasi kepada BI dan Citibank hari ini, Jumat (8/4/2011).

Khusus di bisnis kartu kredit, untuk sementara Citibank dilarang mencari nasabah baru mulai efektif Senin (11/4/2011) nanti . "Kami meminta Citibank menghentikan ekspansi atau tidak mengakuisisi nasabah baru di Citigold dan kartu kredit sambil menunggu pemeriksaan BI," kata Difi Ahmad Johansyah, Kepala Biro Humas BI, Kamis (7/4/2011). Larangan ini akan terus berlangsung hingga bank sentral mengumumkan hasil audit.

Country Corporate Affairs Citibank Indonesia Ditta Amahorseya mengaku telah menerima surat pemberitahuan dari BI terkait penghentian ini. "Kami baru mau merapatkan masalah ini karena suratnya baru kami terima tadi siang. Tolong beri kami waktu sebentar," kata Ditta kepada KONTAN semalam.

Saat ini bisnis kartu kredit menjadi salah satu sumber keuntungan Citibank. BI mendapuk Citi sebagai pemain terbesar. Per Februari 2011, bank ini telah mengedarkan lebih dari 2,1 juta kartu kredit atau 15,22 persen dari total kartu kredit di Indonesia.

Sebelumnya, VP Customer Care Center Head Citibank Hotman Simbolon menyatakan, Citibank Indonesia kehilangan potensi bisnis lebih dari Rp 12 miliar per hari akibat suspensi Citigold. "Hukuman buat Citibank ini mahal," kata Hotman.

Mungkinkah Izin Usaha Citibank Dicabut?

Mungkinkah kasus yang membelit Citibank saat ini bisa berujung pada pencabutan izin? Pertanyaan ini muncul terkait pertemuan Bank Indonesia (BI), Citibank, dan DPR. Dalam rapat, DPR berkali-kali meminta BI bertindak keras dengan mencabut izin bank asal Amerika Serikat ini.

Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI mengatakan, jika keterangan Shariq Mukhtar mengenai penyebab kematian Irzen Octa, bertolak belakang dengan investigasi kepolisian, BI harus memulai proses mengeluarkan Citibank dari negeri ini. "Jika keterangan Shariq tidak benar, berarti Citibank telah melakukan pembohongan publik. Kami akan meminta BI mencabut izin bank tersebut," kata dia. Anggota komisi yang lain juga meneriakkan tuntutan senada.

Shariq adalah Country Officer Citibank Indonesia. Dalam keterangan resmi ia mengklaim tidak ada kekerasan fisik terhadap korban. Ia juga menjamin Citibank menerapkan standar etika tertinggi dalam berhubungan dengan para nasabah. Tapi akhirnya, ia sendiri meragukan klaim itu ketika DPR terus mencecar soal alat bukti yang bisa mendukung klaim terwebut. Terlepas motivasi anggota dewan mengeluarkan gertakan itu dan bagaimana kelak proses politik berjalan, tulisan ini hendak menjawab bagaimana sesungguhnya proses pencabutan izin sebuah bank dilakukan.

Jika kita membuka regulasi, sejatinya tidak ada aturan yang menyebutkan adanya pencabutan izin bank lantaran direksi memberikan keterangan bohong. Paling maksimal, si pejabat itu terkena sanksi. Aturan BI membedakan antara kesalahan individu dan institusi. Kesalahan individu tidak serta merta berdampak pada masa depan institusi. Artinya, direksi bisa saja dihukum seberat-beratnya lantaran berbohong atau sebab lain, tapi bukan karena alasan itu regulator menutup bank. Kesalahan perbankan yang berdampak pada pembekuan izin, lebih terkait pada aspek kesehatan bank. Ini memang lebih berhubungan dengan profil risiko.

Hal ini diatur di Peraturan BI tentang tindak lanjut pengawasan bank. Dalam aturan ini BI membuat tiga kategori, yakni bank dalam pengawasan intensif, di bawah pengawasan khusus (DPK) dan tidak dapat disehatkan kembali. Ketiganya saling berkaitan. Jika dalam jangka waktu setahun gagal keluar dari status pengawasan intensif, ia akan masuk ke pengawasan khusus. Selanjutnya, jika dalam tempo tiga bulan gagal memperbaiki diri, bank yang dalam pengawasan khusus bisa berujung pada status tak bisa disehatkan. Disinilah hidup bank berakhir. Sekali lagi, status bank dalam pengawasan intensif dan pengawasan khusus lebih banyak berkaitan dengan rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM), modal inti, rasio giro wajib minimum dan tingkat kesehatan bank.

Apakah nyawa Citibank bisa dicabut lewat cara ini? Mungkin saja. Tergantung akhir kasus ini. Misalkan, penyelidikan membuktikan kematian Irzan terkait Citibank, bank sentral bisa memberikan sanksi keras pada pengurus dan institusinya. Sanksi ke institusi bisa berupa pembekuan kegiatan usaha tertentu pada bank bersangkutan. Nah, sampai pada titik ini, Citibank menghadapi risiko reputasi. Dia bisa kehilangan kepercayaan dari para nasabahnya. Kondisi ini bisa berakhir dengan penarikan dana (rush). Ujung-ujungnya, masuk ke ruang perawatan BI. Di sinilah keterkaitannya.

Alat hukum lain yang bisa digunakan dalam menangani kasus ini adalah Undang Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998 pasal 52. Beleid tersebut menyebutkan, jika bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diatur UU perbankan, pimpinan BI dapat mencabut usaha yang bersangkutan. Yang dimaksud sebagai kewajiban bank beragam, termasuk perlindungan terhadap nasabah dan mematuhi aturan main yang ditetapkan BI. Kasus Melinda Dee dan kematian Irzan bisa ditafsirkan sebagai pengingkaran atas kewajiban itu.

Jika berbagai payung hukum itu masih kurang menyakinkan, BI tetap bisa mencabut izin dengan alasan membuat terobosan hukum baru. Ini sangat dimungkinkan dan bukan sesuatu yang janggal dalam dunia hukum. Jadi, apakah Citibank mungkin ditutup? Semuanya ada di tangan BI.

Citibank Tak Boleh Tambah Nasabah Gold

Untuk sementara, Bank Indonesia melarang Citibank untuk menambah nasabah Citi Gold. Hal ini seiring dengan pemeriksaan terkait kasus pembobolan dana Rp 17 miliar oleh oknum Relation Manager Citibank Malinda Dee dan kematian Irzen Octa yang diduga dianiaya oleh penagih utang .

Dia (Citibank) tidak boleh menambah dulu. Sementara saja. Tergantung setelah selesai pemeriksaan lebih berat lagi, kami malah bisa menambah (waktunya)," ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution di sela-sela rapat kerja di DPR, Jakarta, Rabu (6/4/2011).

Darmin mengatakan, BI sedang lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengevaluasi kontrol internal bank terkait praktik penggunaan jasa debt collector untuk menagih kredit macet nasabah. "Untuk meningkatkan perlindungan nasabah perbankan, kami sedang mempelajari berbagai kejadian serta mengevaluasi sistem dan praktik-praktik penagihan yang menggunakan pihak ketiga sebagai bahan untuk menyempurnakan ketentuan-ketentuan kami," kata Darmin.

Darmin pun menyebutkan, BI telah mengatur secara ketat praktik-praktik penagihan dalam Surat Edaran Nomor 11/10 tahun 2009, di mana jasa penagihan dapat dilakukan jika tunggakan kartu kredit telah tergolong kategori diragukan atau macet. "Jadi, kalau penagihan baru penagihan pertama, ya enggak boleh seharusnya," katanya.

Penagih pun tidak boleh menggunakan praktik kekerasan. Apabila hal tersebut dilakukan oleh pihak ketiga ini, tanggung jawab ada di pihak penerbit kartu kredit. "Selain itu, kami juga sudah memanggil seluruh penerbit kartu kredit, prinsipal kartu kredit, dan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia untuk mengingatkan tanggung jawab penerbit dalam memerhatikan perlindungan konsumen pemegang kartu kredit," tutur Darmin.

Saat ini, BI juga sedang menyusun standar yang lebih rinci dari yang ada saat ini, untuk memberikan acuan bagi penerbit kartu dalam penggunaan jasa penagih.

Upaya lain dari BI adalah edukasi terhadap pemegang kartu kredit, mengingat pemegang kartu tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam membayar tunggakan kartu kredit. "Termasuk tidak tahu bunganya seberapa besar. Tidak memperhitungkan bahwa ini bunganya besar. Bukan seperti minjam kredit yang biasa," jelasnya.

BI: Citibank Gagal Tegakkan SOP

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan kasus pembobolan dana nasabah di Citibank oleh pegawainya sendiri merupakan bukti gagalnya bank asing itu menegakkan prosedur standar operasional (SOP) yang telah ditetapkan.

"Terkait dengan kasus pembobolan dana nasabah Citibank, kami mencatat adanya dugaan penyalahgunaan wewenang petugas bank, kelemahan pelaksanaan standard operating procedure (SOP), di samping unsur kelalaian dan kurangnya kehati-hatian nasabah," kata Darmin dalam raker dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (5/4/2011) malam.

Dalam raker itu selain mengundang Dewan Gubernur BI, Komisi XI juga mengundang perwakilan Citibank di Indonesia dan pihak kepolisian.

Dijelaskannya, untuk kasus pembobolan dana nasabah dan kasus penagihan kartu kredit oleh debt collector yang dialami Citibank sebenarnya dapat terjadi dimana saja, di Indonesia ataupun di negara lain. "Namun bagi kami, tetap menjadi catatan perhatian serius kami untuk diselesaikan saat ini dan dicegah di masa datang," katanya.

Beberapa kelemahan pelaksanaan SOP dimaksud, antara lain, tidak dilakukannya check dan recheck terhadap penanganan transaksi, kurangnya pengawasan oleh supervisor terhadap bawahan, kurang ketatnya sistem pengawasan internal terhadap kegiatan operasional citigold, yang dari sisi privacy memiliki keunggulan pelayanan sekaligus memiliki simpul kerawanan penyelewengan oleh petugas bank.

Sedangkan unsur kelalaian dan kekuranghati-hatian nasabah tersebut tecermin dari praktik-praktik yang rawan, seperti nasabah menitipkan blangko kosong (formulir transfer/pemindahbukuan/tarik tunai) yang telah ditandatanganinya kepada petugas bank, praktik memberikan password PIN ATM kepada petugas bank. Praktik-praktik yang tidak prudent tersebut, katanya, menciptakan peluang bahkan godaan terhadap petugas bank melakukan transaksi untuk manfaat petugas bank.

Sementara mengenai peristiwa meninggalnya nasabah kartu kredit Citibank yang dihubungkan dengan penagihan oleh debt collector, Darmin mengatakan tetap mengikuti perkembangan penelitian secara saksama dan lebih mendalam.

Secara spesifik termuat ketentuan PBI dan SE BI tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan Kartu (APMK) telah dijelaskan prinsip-prinsip dasar kegiatan penagihan utang kartu kredit, yang pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku.

Maksud dari prinsip ini adalah tidak boleh bertentangan dengan aturan KUH Pidana dan HAM yang dengan jelas melarang praktik kekerasan, ancaman, dan perlakuan tidak pantas lainnya dalam bernegosiasi.

Lebih lanjut pada ketentuan yang sama diatur secara jelas yang intinya bahwa meskipun bank menyerahkan pelaksanaan penagihan kartu kredit kepada pihak ketiga (dalam hal ini debt collector), perlu dimuat dalam perjanjian kerja samanya-klausul tentang tanggung jawab penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul dari kerja sama dengan pihak lain tersebut.

Sementara itu, pemimpin Citibank di Indonesia Shariq Mukhtar mengatakan bahwa terkait kasus tewasnya nasabah kartu kredit terlalu banyak spekulasi melalui pers, padahal kasus ini masih dalam penyelidikan kepolisian. "Penelitian internal kami menyimpulkan tidak ada kekerasan yang terjadi saat korban datang ke kantor Citibank," katanya.

Dikatakannya, selama ini Citibank selalu menerapkan standar yang sangat tinggi dalam menangani kartu kredit termasuk soal debt collector. "Kami mengerti harus punya kontrol yang kuat untuk mematuhi aturan yang ada dengan standar kode etik yang tinggi," katanya.

Dalam rapat tersebut sejumlah anggota Komisi XI bersama-sama mengembalikan kartu kredit Citibank mereka sebagai bentuk protes atas kejadian belakangan ini.
DPR Minta Citibank Dihukum Maksimal

Dewan Perwakilan Rakyat meminta agar Citibank mendapat sanksi maksimal terkait tewasnya seorang nasabah Citibank, Irzen Octa, di tangan penagih utang (debt collector) Citibank. Lembaga keuangan asal Amerika itu dinilai melakukan pelanggaran fatal terhadap sejumlah ketentuan perbankan dan pidana.
Satu jiwa melayang bagaimana pun juga tidak bisa ditolerir.
Demikian salah satu poin kesimpulan rapat dengar pendapat Komisi XI DPR dengan Citibank, Bank Indonesia, dan Polri yang digelar dua hari berturut-turut.  "Satu jiwa melayang bagaimana pun juga tidak bisa ditolerir," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR, Surahman Hidayat, ketika ditemui wartawan di ruang kerjanya, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/4/2011).

DPR menyimpulkan, ungkap Surahman, pengaturan disiplin di Gedung Citibank masih rendah. Terbukti dari tidak adanya CCTV atau kamera pengawas di ruangan tempat tewasnya Irzen.  "Dari aturan-aturan yang ada, dia (Citibank) melanggar, tentu ini harus diberikan sanksi yang maksimum," tegasnya.

Mengenai sanksi apa yang akan dikenakan, DPR menyerahkan hal ini kepada Bank Indonesia dan pihak kepolisian. DPR akan memantau kinerja BI dan kepolisian dalam menetapkan sanksi terhadap Citibank.
"Serahkan ke domainnya, kalau ranah pidana serahkan ke kepolisian supaya ditindak sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Kalau kepatuhan perbankan, serahkan ke BI, apakah pencabutan izin penerbitan kartu kredit, itu kan tentu ditimbang-timbang," ujarnya.

-kompas.com |-vivanews.com



Tidak ada komentar:

Corruption Perceptions Index 2018

Why China is building islands in the South China Sea

INDONESIA NEW CAPITAL CITY

World Economic Forum : Smart Grids Explained

Berita Terbaru


Get Widget