Editor : Martin Simamora, S.IP |Martin Simamora Press

Selasa, 20 April 2010

Rusia Desak Pembentukan Perjanjian Internasional Pengendalian Senjata-Senjata Cyber


Amerika Serikat jelas-jelas menempatkan ancaman cyber sebagai ancaman yang nyata dan berdaya destruksi fatal, dan untuk kali kesekian ancaman serius ini dikumandangkan oleh Direktur National Security Agency, Letnan Jenderal Keith Alexander yang menyatakan semua jaringan komputer di AS menghadapi ratusan hingga ribuan serang setiap harinya. Bagaimana dengan Rusia? Vladislav Sherstuyuk, National Security Council Rusia bahkan menyatakan berbicara tentang senjata-senjata cyber punya banyak kesamaan dengan senjata-senjata nuklir.

Keith pada kamis (15/4/2010) lalu menyatakan pada suatu kesempatan konfrensi di Jerman saat mewawancarai pejabat utama keamanan cyber Rusia Vladislav Sherstuyuk, seorang jenderal purnawirawan yang sekarang mengetuai Institute of Information Security Issues di Moscow State University dan duduk juga dalam National Security Council, bertanya : apakah Rusia mengembangakan senjata-senjata cyber yang bersifat ofensif. Vladislav sebagaimana dikutip Plaza eGov dari technologyreview.com menyatakan: bukan hanya Rusia yang mengembangkannya, inikan abad ke 21. Rusia mengembangkannya sebab ini berkaitan dengan teknologi tinggi.

Bukan kami, Rusia yang menciptakan internet. Tanpa internet pasti tidak akan ada cyberweapon dan cyberattack, jelas Vladislav.Keith Alexander sendiri kini memimpin komando cyber Amerika Serikat yang baru, dan cyber space adalah wilayah tak bertuan atau belum terpetakan dan akan menjadi basis bagi Amerika Serikat untuk melancarkan serangan balasan berbasis cyber melawan serangan-serangan komputer di masa depan.

Mengacu kepada laporan McAfee tahun lalu, sebuah laporan berbasiskan wawancara dengan para pakar pihak ketiga, mengungkapkan bahwa; Rusia, Amerika Serikat, China, Perancis dan Israel mengembangkan kapasitas untuk menyerang dan melumpuhkan jaringan-jaringan komputer termasuk jaringan-jaringan yang menjalankan infrastruktur yang bernilai kritikal seperti jaringan pembangkit listrik.


Sherstuyuk mewakili negaranya dan memimpin konfrensi di Hotel Nessen Garmisch-Partenkirchen, Jerman yang bertujuan untuk membangun serangakaian aturan penanganan. Konfrensi ini memiliki arti penting berkait keamanan cyber dan merupakan konfrensi pertama yang disponsori oleh Departemen Dalam Negeri Rusia dan dihadiri oleh White House dan para pejabat departemen. Rusia berkepentingan untuk membentuk semacam perjanjian pengendalian senjata-senjata cyber, tetapi Amerika Serikat tertarik untuk mendesak terbentuknya berbagai kesepakatan formal untuk memerangi Cybercrime. Konfrensi dihadiri oleh 140 peserta ; para peneliti dan pejabat pemerintah dari negara-negara; Amerika Serikat,India, China, Israel dan lain-lain.

"Hari ini kita berbicara tentang senjata-senjata teknologi informasi, tentang cyberweapons dan ada banyak kesamaan antara senjata nuklir dengan senjata-senjata cyber, sebab cyberweapons dapat menimbulkan dampak terhadap manusia dalam jumlah sangat besar seperti halnya nulir," jelasnya. Tetapi keduanya memiliki perbedaan yang tajam : untuk memiliki cyberweapons biayanya sangat murah bahkan bisa jadi Gratis. Sekalipun kini banyak senjata cyber sedang dikembangkan, namun banyak negara yang kini berupaya menjalin kerjasama untuk memerangi kejahatan cyber


Konfrensi memperlihatkan bahwa setiap negara memiliki perspektif yang beragam. Pihak Gedung Putih telah menempatkan cybercrime sebagai prioritas tertinggi yang diungkapkan langsung oleh Direktur Senior Cybersecyrity Gedung Putih, Christopher Painter kepada Rusia sebagai tuan rumah dan para peserta. Cybercrime telah menjadi ancaman yang sangat dominan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. (Rusia sendiri salah satu sumber utama cybercrime, tetapi pemerintah Rusia juga enggan dan menolak menandatangani konvensi Crime Coopertion sebab keberatan dengan salah satu ketetapan yang menyatakan : mengijinkan penegak hukum mengakses jaringan negara bersangkutan).


Rusia juga memiliki perspektif yang berbeda. Vladislav menyatakan bahwa Rusia lebih memperhatikan penggunaan internet oleh teroris untuk merekrut, mengorganisasi, merencanakan dan melancarkan serangan konvensional di dalam negara Rusia. Tepat dua minggu lalu, 2 wanita pelaku bom bunuh diri meledakan diri di dalam sistem kereta bawa tanah Moscow, menewaskan 39 orang. "Kami hingga kini belum memiliki kasus cyberterorism," ungkapnya merujuk serangan yang ditujukan secara khusus ke jaringan komputer. "Sehingga isu yang lebih penting adalah mengambil informasi dari internet, informasi tentang rencana-rencana serangan yang akan dilancarkan, sehingga kita dapat menjaga bandar udara dan stasiun-stasiun kereta api untuk mengawasi apakah betul akan terjadi serangan atau tidak.


Apabila semua pihak dapat menyepakati sebuah hal, maka ini kabar baik sebab akan lebih baik dalam menentukan siapa yang melancarkan serangan. Sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk menentukan apakah para hacker atau sebuah kementerian pertahanan negara tertentu yang berada dibalik sebuah serangan, sebagaimana yang dialami oleh Estonia 2007.

Meningkatkan kemampuan untuk menentukan siapa pelaku serangan dapat diupayakan dengan cara mengurangi jaringan "online privacy", tetapi dapat juga dilakukan dengan menjalin kerjasama yang lebih baik antarnegara untuk berbagi informasi yang dimiliki. "Kita ingin membangun kepercayaan, dapat membantu terbentuknya serangkaian peraturan terkait dunia informasi, dan saya bertaruh akan ada lebih banyak hal lagi yang dapat kita lakukan jelas Vladislav kepada Keith Alexander.


(Martin Simamora)





Tidak ada komentar:

Corruption Perceptions Index 2018

Why China is building islands in the South China Sea

INDONESIA NEW CAPITAL CITY

World Economic Forum : Smart Grids Explained

Berita Terbaru


Get Widget