Editor : Martin Simamora, S.IP |Martin Simamora Press

Sabtu, 13 Maret 2010

Memahami E-Government 2.0 (1)


Sekalipun banyak pemerintahan di berbagai negara telah menggelontorkan anggarannya untuk melakukan banyak inisiatif pelayanan publik berbasis website, namun banyak instansi pemerintah yang gagal memenuhi keinginan masyarakat penggunanya. Bila pemerintah menerapkan model-model penyelenggaraan pemerintahan yang baru, mengembangkan berbagai kemampuan yang terkandung di dalam web, dan melibatkan partisipasi masyarakat pengguna, maka semua instansi pemerintah dapat meningkatkan efektivitas pelayanan publiknya melalui sistem online. Jason Baumgarten dan Michael Chui, Mc Kinsey Quarterly menyatakan Web 2.0 akan memberikan kemampuan layan website pemerintah secara lebih baik.

Terobosan pertama dalam e-Government, adalah penggunaan berbagai macam teknologi teknologi informasi dan komunikasi atau ICT untuk memperlengkapi dan memperbaiki sektor pelayanan publik, transaksi-transaksi dan berbagai macam kemampuan interaksi yang memampukan organisasi pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, serta peningkatan efektifitas dan efisiensinya. Di banyak negara, lebih dari 70% pembayar pajak kini misalnya melakukannya secara elektronik, serta ragam transaksi lainnya yang dilakukan secara elektronik seperti membayar biaya administrasi perpanjangan surat izin mengemudi (SIM), dan membayar tiket parkir sehingga pemerintah pun dapat meraih pemasukan yang positif dengan mengelola sistem onlinenya. Pegawai pemeintah yang ada di setiap instansi pemerintah pun dapat menggunakan internet secara rutin untuk mengelola proses-proses internal kantor, seperti sumber daya manusia dan perjalanan.


Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pengembangan e-Government, sekalipun telah dilakukan pengalokasian berbagai sumber daya dalam jumlah yang sangat besar, implementasinya sedari awal harus memiliki sebuah periode perkembangan e-Government yang penuh dan stabil. Banyak inisiatif e-Governmet dibuat dan dilakukan namun tidak dibangun dan diantisipasi untuk menyerap kepentingan masyarakat pengguna atau untuk memampukan operasionalisasi pemerintahan menjadi lebih efisien. Menghadapi tekanan fiskal yang tak terduga, sebagaimana juga dengan pengharapan pengguna e-Government yang kerap tak terduga, sebagai akibat integrasi internet ke dalam kehidupan masyarakat dalam aktivitas sehari-hari, maka jelaslah bahwa sektor publik harus memperbaiki pendekatannya dalam menerapkan e-Government untuk memastikan semua inisiatif yang dilakukan pemerintah berhasil mencapai dampak yang maksimum.


Merujuk pengalaman yang ditemukan, ada tiga hambatan yang membuat e-Government tak berbuah optimal e-Government, yaitu ; Pemerintahan yang tidak efektif, Website yang miskin dengan kemampuan-kemampuan yang memudahkan akses, Keengganan pemerintah untuk mengizinkan adanya partsisipasi masyarakat pengguna layanan e-Government dengan melibatkan masyarakat dalam penciptaan berbagai aplikasi dan isi web.


Pemerintahan yang tidak efektif, Proses pemerintahan yang kompleks menghadirkan hambatan fundamental bagi kesuksesan e-Government. Akuntabilitas aktivitas pemerintah berbasis website (ini adalah hal yang paling banyak diterapkan dan sebenarnya memiliki potensi terbesar untuk dikembangkan) kerap malah terjebak dalam permasalahan IT semata atau komunikasi di departemen-departemen. Dan karena web pada dasarnya tidak dipandang sebagai kanal inti bisnis, maka segala upaya berkait web seringkali jadi hal yang dikerjakan secara parsial (terfragmentasi) di semua departemen. Di Amerika Serikat, satu departemen dapat memiliki lebih dari 100 internal web disamping lusinan website resminya, kondisi ini pun terjadi dengan adanya ragam alat dan platform untuk memelihara semua website yang ada. Jelas hal ini meningkatkan banyak pos biaya dan ketidak efisienan. Kompleksitas semacam ini pun berdampak dalam adopsi e-Government, misal, para pengguna e-Government harus rela melalui banyak proses "Sign On" di dalam sebuah website atau untuk mengakses banyak website pemerintahan.



Kebanyakan instansi pemerintah juga miskin dengan kemampuan-kemampuan pokok,yaitu
kemampuan untuk mengembangkan dan memperbaiki layanan-layanan web. Sebagaimana yang mormal terdapat di sektor swasta sehingga web berfungsi secara maksimal (best practice) dimana perusahaan-perusahaan mempekerjakan spesialis yang berbakat untuk mengoptimalkan websitenya, hampir semua pemerintah jarang memprioritaskan hal ini, dan hanya memiliki sedikit pakar desai web atau analis web.


Bahkan, sekalipun semua instansi pemerintah tersebut mulai mengatasi tantangan yang ditemukan dalam pemerintahan dan telah mengadopsi kemampuan-kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh sebuah web sebagaimana halnya yang diterapkan oleh sektor swasta, dengan juga menerapkan berbagai teknologi Web 2.0 seperti; blog,wiki yang memungkinkan para penggunanya untuk berpartisipasi dalam diskusi, mengembangkan berbagai aplikasi, dan mengkombinasi data dari beragam sumber. Hali ini pun memunculkan hal baru di dalam pemerintahan, soal bagaimana mengontrol penggunaan data, juga validitas dan keamanannya. Tetapi sebagai pengguna (masyarakat) yang makin lama makin terbiasa dengan berbagai pengalaman berpartsipasi secara online dalam kehidupan mereka, maka kegagalan pemerintah untuk menggunakan Web 2.0 malah akan membentuk persepsi masyarakat yang negatif bahwa website pemerintah memang menawarkan banyak layanan yang luas namun mengabaikan pengalaman (interaktif dan partisipatif) yang biasa dinikmati publik.




(McKinseyQuarterly.com | Martin Simamora)



Tidak ada komentar:

Corruption Perceptions Index 2018

Why China is building islands in the South China Sea

INDONESIA NEW CAPITAL CITY

World Economic Forum : Smart Grids Explained

Berita Terbaru


Get Widget